Pecak Welut Bu Niti, Pemalang: Jejak Petualangan Rasa di Jalur Pantura

pecak-welut-bu-niti-pemalang

Aspal Tol Trans Jawa membentang lurus di bawah langit biru, memotong lanskap yang berubah dari hiruk-pikuk metropolitan Jakarta menuju kelambanan pedesaan Jawa Tengah. Getaran mesin, deru kendaraan lain, dan panorama sawah yang silih berganti menjadi teman setia perjalanan panjang menuju kota-kota di Jawa Tengah atau Timur. Ada titik-titik istirahat yang fungsional, namun ada pula yang menjadi magnet, destinasi yang telah mengakar dalam benak dan lidah para pengembara jalan raya. Salah satunya tersembunyi hanya beberapa menit setelah keluar dari jalur Tol Trans Jawa dan jalur utama Petarukan, Pemalang: Pecak Welut Bu Niti.

Menyusuri jalan kecil menuju Desa Tegalmlati, nuansa berubah. Udara terasa lebih sejuk, hijau sawah membentang, dan kesederhanaan pedesaan Jawa menyambut. Di sinilah, sejak tahun 1975, sebuah warisan kuliner tak tergoyahkan telah berdiri. Bu Niti bukan sekadar bangunan sederhana di tepi sawah; ia adalah mercusuar rasa yang telah menuntun generasi demi generasi pencinta kuliner otentik. Statusnya sebagai “legendaris” bukanlah klaim kosong, melainkan janji yang terpenuhi berulang kali di setiap cobek yang dihidangkan.

Memasuki warung yang ramai namun syahdu ini, pikiran pun melambat. Suasana mindful tercipta: bunyi senggolan piring, percakapan pelanggan dari berbagai penjuru (Batang, Pekalongan, Tegal, Cirebon, bahkan Jakarta!), dan aroma khas yang menggoda, campuran gurih santan, pedas menyengat sambal terasi, dan kesegaran belut yang baru digoreng. Kesederhanaan ruang makan, yang mampu menampung sekitar 40 orang, justru menjadi kekuatan. Ia memaksa kita fokus pada esensi: makanan dan pengalaman bersantap yang menyatu dengan alam sekitar.

Pecak Belut Sambal Pati adalah alasan utama semua perjalanan ini. Mengintip ke dapur, prosesnya adalah tarian tradisi yang terjaga rapi. Belut pilihan, yang secara khusus didatangkan dari Kalimantan sebanyak 2 kuintal setiap dua minggu untuk jaminan kualitas dan ketersediaan, ditangani dengan cermat. Dikuliti, dipotong, dicuci, lalu digoreng dadakan; tanpa bumbu pendahuluan, murni untuk menangkap esensi rasa aslinya. Teknik kunci yang membedakan terjadi setelahnya: belut goreng yang masih panas itu dipecak, dihancurkan atau diulek lembut, lalu dicampurkan secara intens dengan Sambal Pati khas Pemalang.

Sambal Pati inilah jantungnya. Perpaduan sambal terasi tradisional, santan kental pekat, dan rempah-rempah aromatik yang diracik dengan presisi, menciptakan saus yang gurih, pedas, nyamleng (sangat lezat), dan creamy. Teknik pecak memastikan saus yang kaya ini bukan sekadar pelapis, tapi meresap hingga ke serat-serat belut. Bagi yang menginginkan pengalaman berbeda atau kurang menyukai sensasi santan yang kaya, Bu Niti menawarkan alternatif bijak: Pecak Belut Sambal Kering. Varian ini mengandalkan sambal terasi tradisional tanpa campuran santan, digerus kering dan sangat pedas. Belut goreng yang sama renyah dan segar itu dipecak dan diaduk merata dengan sambal kering ini, menghasilkan citarasa yang lebih langsung, tajam, dan membakar lidah dalam cara yang berbeda. Meski tak selembut varian santan, keunggulan utamanya tetap terjaga: kualitas belut pilihan yang digoreng dadakan dan kepedasan yang menjadi ciri khas Bu Niti.

Hidangan lengkapnya tiba di atas cobek atau loyang, seringkali dialasi daun pisang, memperkuat kesan tradisional. Sepiring nasi hangat, lalapan segar (mentimun, tauge renyah, daun daun pepaya rebus yang unik), dan kadang urap sayuran campur berbumbu kelapa, menjadi pendamping sempurna. Rasa pertama adalah sebuah pengakuan. Pada Pecak Santan, gurih santan menyelimuti lidah, diikuti gelombang pedas yang seketika terasa, pedas yang bukan sekadar sensasi, tapi karakter yang disengaja dan dirayakan. Sementara pada Pecak Kering, serangan pedas yang lebih frontal langsung menyapa, mengandalkan kedalaman sambal terasi murni. Deskripsi pelanggan seperti “puedesss maksimal” atau “bikin keringat ngalir terus” berlaku kuat untuk kedua varian, bukan hiperbola; itu pengakuan jujur atas intensitas yang menjadi trademark Bu Niti. Di balik kepedasan yang membangkitkan semangat itu, terselip rasa belut yang segar dan gurih alami, bukti dari komitmen menggoreng dadakan dan kualitas bahan baku pilihan.

Duduk di warung sederhana itu, dikelilingi sawah dan keramaian yang penuh semangat, pikiran pun merenung. Di tengah arus modernisasi dan jalan tol yang serba cepat, Bu Niti adalah oase keteguhan. Resep yang tak berubah sejak 1975, dikelola dengan penuh dedikasi oleh generasi kedua (Niti Lestari), adalah bentuk perlawanan halus terhadap tren yang berlalu. Mereka tidak perlu gimmick. Kualitas, konsistensi, dan keotentikan rasa, baik dalam wujud Sambal Pati yang kaya maupun Sambal Kering yang membara, adalah senjatanya. Pengelolaan multi-generasi ini bukan hanya tentang bisnis, tapi tentang menghormati warisan, memastikan setiap pelanggan hari ini merasakan hal yang sama seperti yang dirasakan puluhan tahun silam. Belut dari Kalimantan dan teknik pecak yang spesifik adalah bukti nyata komitmen itu.

Bagi yang melintasi Pantura, melewatkan Bu Niti terasa seperti mengabaikan sebuah ritus. Ada kebenaran dalam kata-kata, “rugi kalau tidak mampir saat melintas Pantura Pemalang.” Ia lebih dari sekadar tempat makan; ia adalah landmark budaya, pintu masuk untuk memahami identitas kuliner Pemalang. Harga sekitar Rp 45.000 untuk satu porsi lengkap (belut, nasi, lalapan, berlaku untuk kedua varian sambal) bukanlah angka semata, tapi nilai tukar untuk sepotong sejarah dan pengalaman sensorik yang sulit tergantikan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *