Di atas piring anyaman bambu, nasi menjulang seperti gunung yang tak pernah berhenti berdoa. Sejak ribuan tahun silam, ia menjadi saksi bisu pergulatan manusia Jawa dengan langit, bumi, dan arus zaman. Tumpeng, sepotong gunung miniatur, tak hanya mengisi perut, tapi juga merajut jiwa. Kini, di antara gemuruh modernitas, ia tetap berdiri, meski kadang terasa seperti melodi tua yang dipaksakan mengikuti irama synthesizer.
Batu Pertama dari Gunung Suci
Sebelum Hindu dan Islam menyapa Nusantara, tumpeng sudah lahir dari rahim animisme. Ia adalah persembahan untuk gunung-gunung yang dianggap keramat, tempat roh leluhur bersemayam. Bentuk kerucutnya meniru puncak-puncak vulkanik, menjembatani manusia dengan langit. Setiap butir nasi putih adalah tetes embun kesucian, setiap lauk adalah kisah tentang hidup yang tak pernah linear.
Ketika Hindu datang, gunung itu menjelma menjadi Mahameru, singgasana para dewa. Tumpeng tak berubah bentuk, hanya maknanya yang melebar seperti sungai yang menyerap hujan. Lalu Islam merengkuhnya, mengubah persembahan menjadi syukur. Doa-doa kini tertulis dalam Al-Qur’an, tapi kerucut itu tetap tegak, bagai jari yang menunjuk ke langit, mengingatkan: “Segala sesuatu akan kembali.”
Kanvas Filosofi yang Terlupakan
Tumpeng adalah puisi yang disantap. Nasi kuningnya adalah emas kemakmuran, merah-putihnya adalah darah dan harapan bangsa. Biru dari bunga telang adalah air mata permintaan maaf yang tersamar. Lauk-lauk di sekelilingnya bukan sekadar pelengkap, mereka adalah fragmen kehidupan. Ikan teri mengisyaratkan kerukunan, telur rebus menggenggam tekad, ayam ingkung mengajarkan kerendahan hati. Tujuh lauk pitu, pitulungan, tujuh pintu pertolongan yang selalu terbuka bagi yang percaya.
Tapi siapa kini yang masih membaca metafora itu? Di pusat perbelanjaan, tumpeng hadir sebagai dekorasi instan, warnanya cerah, lauknya kekinian. “Tumpeng suka-suka,” begitu mereka menyebutnya. Bentuk kerucut masih ada, tapi jiwa gunung itu mungkin telah menguap, digantikan oleh estetika yang dijual per porsi.
Ritual yang Menjadi Cermin Retak
Dulu, tumpeng adalah bahasa universal untuk setiap fase hidup. Kelahiran dirayakan dengan Tumpeng Megana, nasi putih dan sayuran hijau, harapan agar bayi tumbuh laksana padi yang tegak. Kematian diiringi Tumpeng Pungkur, nasi terbelah seperti pintu antara dunia dan akhirat. Panen dirayakan dengan Tumpeng Robyong, api lidi yang menari-nari bagai roh yang tak mau padam.
Kini, upacara tujuh bulanan sering digantikan oleh gender reveal party. Tumpeng Nujuh Bulanan masih ada, tapi ia seperti burung yang kehilangan sarang, masih bernyanyi, tapi tak lagi paham untuk siapa. Di sudut-sudut kota, para sesepuh masih memotong puncak tumpeng, membagikannya sebagai berkah. Tapi tangan-tangan muda lebih sering menyentuh layar ponsel ketimbang menyambut nasi yang dihidangkan.
Gunung Kecil di Tengah Badai Globalisasi
Di Kalisongo, Malang, tumpeng masih menjadi puncak ritual. Mereka memasaknya dengan teknik aron, mengukus nasi setengah matang agar tak mudah basi, metafora tentang ketahanan. Tapi di luar sana, globalisasi menggoda: “Kenapa repot? Pesan online saja.”
Tumpeng modern hadir dengan nasi goreng atau warna-warni pelangi. Angka tujuh masih dipertahankan, tapi sebagai penghormatan kosong pada tradisi. “Ini bukan pengkhianatan,” kata seorang koki muda, “hanya adaptasi.” Tapi bisakah gunung tetap berdiri jika akarnya tercabut?
Epilog: Doa yang Tak Pernah Usai
Malam ini, di sebuah desa di Jawa, seorang ibu masih menata tumpeng untuk syukuran anaknya. Tangannya bergetar saat mengukir nasi menjadi kerucut. Ia tahu, suatu hari nanti, anaknya mungkin akan menggantikan tumpeng dengan kue tart atau burger. Tapi untuk malam ini, ia berdoa: “Biarlah gunung kecil ini tetap menjulang, walau hanya sebagai kenangan.”
Tumpeng bukan sekadar nasi. Ia adalah gunung yang bernyanyi dalam sunyi, sebuah pengingat bahwa kita pernah memandang langit dengan takjub, merangkul bumi dengan syukur, dan merajut hidup dalam sajian yang sarat makna. Di tengah dunia yang semakin datar, ia tetap tegak, meski mungkin suatu hari nanti, hanya tinggal bayangan.