Siapa sangka, di balik hiruk-pikuk Semarang yang terkenal dengan lumpia dan lawang sewunya, tersimpan sebuah cerita kuliner yang bikin lidah berdecak. Bagi saya, Gudeg Koyor Mbak Tumbukan sekadar tempat makan, tapi juga saksi bisu bagaimana sebuah warung tenda bisa menjelma jadi legenda. Pertama kali saya dengar namanya dari seorang teman yang bersumpah, “Kalau ke Semarang nggak mampir sini, lo belum benar-benar ke Semarang.” Dan begitulah, perjalanan saya mengenal Mbak Tum dimulai.
Mbak Tum berawal dari tenda sederhana di pinggir jalan pada 1991. Bayangkan, lebih dari tiga dekade lalu, seorang Ibu, yang mungkin tak menyangka, pelan-pelan membangun kerajaan kecil dari koyor dan gudeg. Kini, warungnya sudah punya bangunan permanen di Jalan MT Haryono, tak jauh dari Bank BTPN. Tapi jangan salah, nuansa “lesehan”-nya masih melekat. Saya pernah duduk di kursi plastik dekat jalan, menikmati semilir angin malam sambil menikmati seporsi nasi gudeg koyor. Ada yang memilih makan di dalam gedung, tapi bagi saya, sensasi duduk di tenda atau lesehan itu seperti kembali ke masa kecil: sederhana, autentik, dan penuh cerita.
Yang bikin Mbak Tum spesial? Koyor-nya.Sejak pertama kali gigit, saya paham kenapa orang rela antre sampai larut malam. Koyor atau tendon sapi yang dimasak hingga 11 jam, benar-benar meleleh di mulut. Teksturnya lembut tapi tidak hancur, masih menyisakan rasa daging yang meresap bumbu. Berbeda dengan kikil yang lebih kenyal, koyor di sini seperti hadiah untuk lidah yang lelah. Temannya, gudeg Semarang, juga punya karakter unik. Bukan yang manis ala Jogja, melainkan gurih dengan rempah yang nendang. Kuah opor santannya menggenang di atas nasi, ditemani sambal goreng krecek yang renyah dan pedasnya bikin keringat mengucur. Saya pernah iseng tambah pete, aroma khasnya memang kontroversial, tapi bagi pencinta “bau yang jujur”, ini seperti teman setia yang melengkapi setiap suapan.
Menu di Mbak Tum ibarat pesta rasa. Selain bintang utamanya, ada lontong opor, ayam goreng, atau babat gorenguntuk yang ingin variasi. Tapi saya selalu tergoda pesan “nasi gudeg komplit” dengan telur, suiran ayam, dan tentu saja, koyor. Harganya? Sekitar Rp25.000–Rp50.000. Memang sedikit lebih mahal dari warung biasa, tapi rasanya worth it. Pernah suatu malam, saya dan dua teman menghabiskan Rp61.000 untuk porsi ekstra. “Ini investasi buat kebahagiaan,” canda kami sambil mengelus perut.
Antrean panjang sudah jadi pemandangan biasa di sini. Tapi jangan khawatir, pelayanannya cepat. Saya pernah mengantre 15 menit di jam sibuk, tapi begitu sampai di depan Mbak Tum, makanan siap dalam hitungan menit. Rating 4,5 di Google dari ribuan reviewbukan cuma angka, ia bukti bahwa lidah orang tak bisa bohong. Seorang teman dari Jogja pernah protes, “Gudeg kok nggak manis?” Tapi setelah mencoba, dia mengakui: “Ini berbeda, tapi enaknya nempel di memori.”
Mbak Tum buka dari sore hingga larut, biasanya mulai pukul 17.00 sampai 02.00. Saya paling suka datang sekitar pukul 20.00, ketika lampu jalan mulai redup dan suasana makin hangat. Tapi hati-hati, kalau datang terlalu dekat jam tutup, risiko kehabisan koyor selalu mengintai. Pernah suatu kali, saya datang pukul 01.30 dan hanya bisa memandang periuk kosong dengan sedih. “Besok lagi, ya,” kata Mbak Tum ramah sambil tersenyum.
Bagi yang tak bisa datang langsung, Mbak Tum sudah merambah GoFood. Cabang Majapahit-nya bahkan punya rating 4,7! Tapi jangan harap sensasi yang sama. Menikmati gudeg koyor di tengah keramaian Peterongan, dengan suara motor lewat dan tetangga meja yang asyik bercanda, itu pengalaman yang tak tergantikan. Bahkan, katanya ada yang sampai dikirim beku ke Singapura lewat Tokopedia, pakai styrofoam khusus agar tetap segar. Tapi saya pribadi lebih suka datang langsung. Ada ritual tertentu yang hilang jika dimakan di rumah: bau krecek yang menggoda, gemericik kuah opor, atau tawa Mbak Tum yang sudah hapal pelanggan tetap.
Kisah Mbak Tum bagi saya adalah cerita tentang ketekunan. Dari tenda di pinggir jalan sampai punya cabang di Purwodadi, mereka tetap setia pada resep turun-temurun. Tak heran jika pejabat sampai turis mancanegara ramai mampir. Di sini, setiap suapan bukan cuma soal rasa, tapi juga warisan, dedikasi, dan cinta pada kuliner yang dibangun perlahan.
Jadi, jika suatu hari Anda melintas di Semarang, jangan lupa mampir. Duduklah lesehan, pesan nasi gudeg koyor plus pete, dan biarkan lidah Anda mencatat kenangan. Seperti kata orang-orang di sini: “Semarang belum lengkap tanpa Mbak Tum.” Dan saya, setelah bertahun-tahun, tak bisa membantahnya.