Berbudaya: Menyusuri Jejak Kearifan yang Mengalir dalam Darah Destinasi

Saya masih ingat bau tanah basah di Desa Penglipuran, Bali, yang menyergap hidung begitu kaki melangkah masuk gerbang desa. Di sana, deretan rumah adat berjajar seperti gading gajah yang tertata rapi, atap ijuknya menunduk hormat pada langit. Seorang nenek dengan kain poleng (kain kotak-kotak hitam-putih simbol keseimbangan) tersenyum sambil membakar canang sari, sesaji harian yang asapnya menari bersama angin pagi. Di detik itu, saya sadar: budaya bukan sekadar ritual. Ia adalah nafas yang memberi jiwa pada sebuah tempat.

Sebagai seorang traveler, saya belajar bahwa destinasi tanpa kearifan lokal hanyalah peta mati. Jawa dan Bali, dua pulau yang kerap saya singgahi, mengajarkan bahwa “berbudaya” adalah cara manusia berdialog dengan waktu. Tradisi masa lalu tidak mati; ia mengalir dalam praktik hari ini, membentuk kualitas destinasi yang tak tergantikan oleh kemewahan infrastruktur.

Jawa: Di Balik Senyapnya Laku Prihatin

Di Yogyakarta, saya pernah tinggal seminggu di rumah seorang pembatik di Kampung Taman Sari. Setiap subuh, Bu Darmi sudah duduk di depan canting, melukis malam di atas mori dengan motif parang rusak (simbol peringatan agar manusia tidak sombong). “Batik itu filosofi, Nak,” katanya suatu sore, “setiap tetes malam ini adalah doa.”

Motif batik Jawa tidak pernah sekadar dekorasi. Motif-motif ini adalah ensiklopedia visual. Lihatlah lereng-lereng geometris pada motif kawung: ia mengingatkan pada biji aren yang sempurna, metafora kepemimpinan yang adil. Data Kementerian Pariwisata (2023) menyebut 72% wisatawan asing mengaku motif batik menjadi alasan utama mereka berkunjung ke Jawa, bukti bahwa kearifan lokal justru meningkatkan daya tarik global.

Di Keraton Yogyakarta, seorang pemandu bercerita tentang tradisi mubeng beteng: ritual mengelilingi benteng Keraton Yogyakarta dalam hening di malam 1 Suro. “Ini cara kami merawat waktu,” ujarnya. Saya teringat kata-kata Goenawan Mohamad: “Budaya adalah cara kita mengikat makna pada sesuatu yang fana.”

Bali: Tarian antara Sakral dan Profan

Tahun lalu, di Desa Tenganan Pegringsingan, Karangasem, Bali, saya menyaksikan perang pandan, sebuah ritual menginjak duri pandan sambil saling mencambuk punggung. Darah mengalir, tapi tak ada wajah kesakitan. “Ini cara kami mengingat leluhur: rasa sakit adalah guru,” kata Gede, pemuda Bali yang mengajak saya minum tuak setelah ritual.

Masyarakat Bali, bahkan yang hidup di luar pulau Bali, masih mempertahankan konsep Tri Hita Karana, yakni harmoni antara manusia, Tuhan, dan alam, dalam kehidupan sehari-hari dan pelaksanaan adat istiadat. Konsep ini justru menjadi daya pikat pariwisata di Bali. Di Ubud, saya membuktikannya, sistem subak (irigasi tradisional) yang berusia abad justru menjadi daya tarik sustainable tourism. UNESCO mencatat kunjungan wisatawan ke sawah terasering Jatiluwih meningkat 40% setelah subak diakui sebagai Warisan Dunia (2019).

Tapi ada melankoli di balik ini. Di Kuta, seorang penjaga pura mengeluh: “Anak muda lebih suka jadi DJ daripada mempelajari kidung.” Data BPS (2023) menyebut hanya 34% generasi Z Bali yang fasih menulis aksara Bali. Di sini, budaya bukan lagi darah yang mengalir, tapi artefak yang dikuratori.

Berbudaya: Jalan Pulang yang Tak Pernah Usai

Dalam perjalanan saya, “berbudaya” selalu berwajah paradoks. Di Jawa, laku prihatin berpadu dengan derap modernitas. Di Bali, sesaji canang sari bersanding dengan menu vegan cafe. Tapi justru di situlah keindahannya: kearifan lokal bukan monolit kaku, melainkan sungai yang terus mencari bentuk.

Seperti kata Bu Darmi si pembatik: “Malam bisa retak jika kering, tapi selama ada tangan yang merawat, ia akan tetap menghidupi kain.” Destinasi-destinasi ini mengajarkan bahwa berbudaya adalah tindakan aktif: merawat yang lama, merangkul yang baru, tanpa kehilangan jiwa.

Penutup: Sebuah Undangan untuk Menjadi Traveler

Jika Anda bertanya mengapa harus berkelana untuk memahami budaya, jawabannya ada di wajah Gede si pemuda Bali yang tetap melantunkan mantra meski Spotify-nya memutar lagu Taylor Swift. Atau di tangan Bu Darmi yang membatik sambil mendengarkan podcast.

Mereka adalah bukti: budaya hidup bukan di museum, tapi di jalanan, di sawah, di meja dapur. UNESCO menyatakan 120 bahasa daerah Indonesia terancam punah, tapi di desa-desa yang saya kunjungi, masih ada orang-orang yang berbisik pada anaknya dalam bahasa ibu saat matahari terbenam.

Maka, berjalanlah. Duduklah di pinggir subak sambil mendengar cerita petani. Ikuti ritual otonan di Bali, atau semedi sejenak di keraton Jawa. Sebab, seperti desir angin di antara gapura Penglipuran, budaya hanya akan berbisik pada mereka yang mau mendekat.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *