Pasola: Perang Suci untuk Kesuburan dan Keselarasan Abadi di Pulau Sumba

Di jantung Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur, Indonesia, terselenggara setiap tahun sebuah ritual spektakuler sekaligus penuh paradoks: Pasola. Lebih dari sekadar atraksi perang berkuda, Pasola adalah jantung berdenyut budaya Sumba, sebuah “perang” suci yang justru bertujuan menciptakan perdamaian, kesuburan tanah, dan keselarasan kosmis. Ritual kuno ini merupakan warisan budaya hidup yang menjalin erat keyakinan spiritual Marapu, hubungan sakral dengan leluhur, ketergantungan mendalam pada alam, dan kohesi sosial masyarakat Sumba. Telah bertahan selama berabad-abad, Pasola menjadi bukti nyata ketangguhan identitas budaya Sumba menghadapi modernisasi dan geliat pariwisata Sumba.

Akar Pasola tertanam dalam legenda cinta tragis dari abad ke-16 di Desa Wewijunga. Kisah hilangnya tiga bersaudara, seorang janda yang menikah lagi melanggar adat, memicu ancaman perang saudara berdarah antar desa. Solusi genius yang muncul adalah Pasola, sebuah “pertempuran ritual” atau “kompromi sakral” untuk mengalihkan konflik nyata. Versi lain menceritakan pengorbanan sang wanita menjadi Nyale (cacing laut sakral), yang penampakan tahunannya kelak menjadi penentu waktu Pasola. Legenda ini bukan dongeng belaka; ia menegaskan fungsi Pasola sebagai mekanisme canggih penyelesaian konflik dan pengukuh kohesi sosial dalam DNA masyarakat Sumba.

Landasan spiritual yang menghidupi Pasola tak terpisahkan dari kepercayaan Marapu (intisari paling sakral budaya Sumba yang berarti “mereka yang dimuliakan”). Marapu menghubungkan manusia dengan leluhur yang selalu hadir, alam yang berjiwa, dan Sang Pencipta. Nilai-nilai inti Marapu terwujud nyata dalam setiap tahap Pasola:Â

  1. Pemujaan Leluhur melalui persembahan dan doa yang dipimpin Rato (dukun/imam Marapu) sebelum ritual.Â
  2. Keseimbangan Alam-Manusia yang tercermin dari ketergantungan mutlak waktu Pasola pada kemunculan Nyale sebagai tanda musim tanam, dan kepercayaan bahwa darah yang tumpah (meski dari tombak tumpul) akan “menyuburkan tanah“.Â
  3. Gotong Royong dan Solidaritas lewat penyatuan warga dari desa berbeda dan peran krusial wanita dalam menyiapkan serta berbagi ketupat untuk memperkuat persahabatan.Â
  4. Kesakralan Upacara yang dijaga ketat melalui protokol seperti masa pantangan Wula Nyale (larangan memakai merah, membangun rumah, memandikan kuda di sungai).
  5. serta Tanggung Jawab Melestarikan Warisan yang menjadi jiwa pelaksanaannya.

Pasola adalah dramatisasi filosofi Marapu yang holistik, di mana spiritual, sosial, dan ekologi menyatu dalam satu momen sakral nan dahsyat.

Pasola bukan peristiwa tunggal, melainkan proses ritual panjang yang selaras dengan siklus alam. Waktunya (biasanya Februari-Maret) ditetapkan secara sakral oleh Rato berdasarkan penampakan Nyale. Pelaksanaannya tersebar di Sumba Barat, terutama di Wanokaka, Kodi, Lamboya, dan Gaura, dengan variasi waktu dan ritual pendahuluan. Persiapan intensif dimulai sebulan sebelumnya dengan Wula Nyale, masa pantangan untuk menjaga kesucian. Dua hari sebelum Pasola, digelar Pajura, tinju tradisional Sumba tanpa sarung tangan (biasanya di pantai hingga subuh) sebagai ujian keberanian, kekuatan fisik, dan simbol pembersihan. Kuda Sumba yang perkasa dipersiapkan khusus (Palaingu Jara). Puncak ritual pra-Pasola adalah Perburuan dan Interpretasi Nyale yang dipimpin Rato; bentuk dan jumlah Nyale diinterpretasikan untuk meramal hasil panen dan menangkal bencana. Malam sebelumnya, keluarga besar berziarah ke makam leluhur (ada yang berusia 500 tahun) untuk memberi persembahan sirih-pinang dan memohon berkat, seringkali disertai elemen Kristen seperti menyalakan lilin dan berdoa, mencerminkan akulturasi kepercayaan yang unik di Sumba modern. Ratusan keluarga berkumpul, wanita sibuk menyiapkan dan berbagi ketupat, mempererat tali silaturahmi. Di Gaura, Pasola bahkan berlangsung dua hari: hari pertama untuk anak laki-laki belajar, menjamin kelangsungan tradisi, hari kedua untuk ksatria berpengalaman.

Hari-H tiba. Ribuan penonton, termasuk wisatawan, memadati lapangan. Inti Pasola adalah simulasi perang epik antara dua kelompok, masing-masing berisi sekitar 25 ksatria berkuda. Para Ksatria, umumnya pemuda pemberani dari desa berbeda, menunggang kuda Sumba tanpa pelana, berpakaian tradisional mencolok, dan tanpa pelindung tubuh. Keahlian menunggang kuda, menghindar, bahkan menangkap tombak kayu tumpul (panjang ~1.5m) di udara, menjadi kebanggaan sekaligus pembawa nama keluarga dan komunitas. Kuda Sumba yang kuat dan terlatih, sering dihias indah, adalah simbol kebanggaan pulau. Peran Sentral Rato mutlak: memimpin doa pembuka, melemparkan tombak pertama sebagai tanda dimulainya “permainan perang”, berkeliling arena melantunkan mantra memanggil leluhur dan memohon berkat selama acara, serta menutup ritual resmi. Aturannya jelas: sasaran adalah kuda atau perisai lawan; ada jalur yang harus diikuti; dilarang sengaja melukai orang atau memukul kepala/leher kuda. Meski tombak tumpul, risiko cedera tetap ada. Cedera biasanya diobati secara tradisional oleh Rato, dipercaya cepat sembuh. Tidak ada yang menang atau yang kalah. Acara selalu diakhiri dengan pesta bersama penuh suka cita, tanpa menyisakan dendam. Perempuan terus memperkuat perdamaian lewat berbagi ketupat, sementara sorak penonton memecah langit saat tombak menemui sasaran.

Paradoks Pasola adalah kekuatannya. Berakar dari kebutuhan menghindari perang saudara, ia melibatkan kekerasan ritual dan bahaya nyata, namun dirancang untuk berakhir dalam rekonsiliasi dan pesta komunal tanpa rasa benci. Ia berfungsi sebagai katup pelepas ketegangan sosial yang terkendali, mengubah potensi konflik destruktif menjadi aksi sakral yang hasilnya (tumpahnya darah) dimaknai sebagai pupuk bagi kesuburan tanah dan kemakmuran bersama. Inilah mekanisme budaya cerdas untuk menjaga keharmonisan sosial dan keseimbangan alam.

Makna Pasola sangatlah dalam dan berlapis: Ia adalah doa hidup untuk Kesuburan Tanah & Panen Melimpah (darah sebagai pupuk sakral); simbol Perjuangan & Keberanian para ksatria; wujud Penghormatan Leluhur & Persaudaraan antar kelompok; ekspresi Kekuatan & Kebanggaan identitas pria Sumba; serta permohonan Keselamatan Komunitas. Secara sosial, Pasola adalah perekat komunitas yang kuat, penjaga nilai luhur (keberanian, hormat, gotong royong), dan pilar utama identitas budaya Sumba. Ia juga menjadi arena pengakuan sosial.

Di era kini, Pasola menghadapi tantangan sekaligus peluang. Pariwisata menjadikan Pasola sebagai daya tarik wisata unggulan Sumba, mendatangkan manfaat ekonomi dan mendorong pembangunan infrastruktur. Namun, ancaman komodifikasi budaya dan pergeseran makna dari sakral menjadi sekadar tontonan turis, nyata adanya. Penetapan tanggal lebih awal menggunakan ramalan modern demi kepentingan turis adalah contoh adaptasi. Pariwisata Bertanggung Jawab yang menghormati adat mutlak diperlukan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *