Imah Babaturan: Pulang ke Rumah yang Penuh Rasa

Saya masih ingat pertama kali menginjakkan kaki di Imah Babaturan. Saat itu, langit Bandung sedang mendung tipis, dan hawa dinginnya seakan memanggil untuk mencari sesuatu yang hangat, baik dari segi suasana maupun perut. Dari jauh, plang sederhana bertuliskan “Imah Babaturan” menyambut. Artinya “rumah teman” dalam bahasa Sunda, dan benar saja, rasanya seperti diundang ke rumah sahabat lama yang sudah meracik makan siang istimewa.

Suasana yang Mengundang Pulang

Memasuki Imah Babaturan di Jl. Kebon Bibit No. 3, Tamansari, saya langsung disergap nuansa homey yang jarang ditemui di warung kopi biasa. Meja kayu tua, kursi sederhana yang konon berasal dari madrasah lokal, dan piring-piring tradisional Indonesia menggantung di dinding. Semua terasa seperti potongan kenangan masa kecil. Sayang, cabang pertamanya memang cukup sempit. Saat weekend, antrean kerap mengular, tapi justru di situ letak pesonanya: keramaian yang hangat, bukan riuh. Jika ingin lebih lega, cabang kedua di Jl. Tamansari No.51a menawarkan parkir lebih luas dan ruang yang lapang. Tapi bagi saya, justru keintiman cabang awal itulah yang membuatnya terasa authentic.

Hidangan yang Bikin Nagih

Sebagai pecinta pedas, Nasi Cumi Cabe Ijo langsung memikat hati. Seporsi cumi lembut yang tenggelam dalam sambal hijau pedas menggoda. Lidah terbakar, tapi tangan tak kuasa berhenti menyendok. “Nendang betul!” gumam saya, sambil menyesap Es Teh Manis yang manisnya pas, seperti pelipur lara setelah serangan cabai. Tak kalah memikat, Oseng Sapi Asap hadir dengan aroma bakar yang menggugah. Dagingnya empuk, bercampur manis-gurih, dan sedikit sentuhan pedas yang halus. Cocok untuk yang tak terlalu berani dengan level pedas ala hidangan khas Sunda.

Menu mingguan seperti Sop Buntut atau Nasi Lidah Cabe Hijau selalu jadi kejutan. Saya pernah kebetulan mencoba Ketoprak di hari Selasa, kuah kacangnya kental, tempe dan lontongnya segar. Tapi hati-hati dengan Tongseng Kambing: kuahnya kaya rempah, tapi aroma gamey-nya mungkin tak untuk semua orang. Untuk camilan, Tempe Mendoan di sini renyah di luar, lembut di dalam. Ditemani kerupuk gratis yang selalu tersedia, rasanya seperti ngemil di rumah sendiri.

Bukan Cuma Makan, Tapi Bercerita

Harganya? Ramah kantong. Dengan Rp50.000, saya bisa kenyang plus es teh. Bahkan Nasi Goreng Kambing Smoky-nya cuma Rp35.000, murah untuk porsi yang cukup buat dua orang (atau satu orang lapar seperti saya). Pelayannya pun ramah, meski kadang sibuk. Sistem order-pay-first memang memaksa kita untuk sabar antre, tapi itu bagian dari charm-nya: tak ada yang instan di sini, semuanya terasa handmade.

Dari Mulut ke Media Sosial

Imah Babaturan bukan sekadar tempat makan, ia fenomena sosial. Sejak ramai di TikTok dan Instagram, anak-anak muda berduyun datang, tak cuma untuk makan, tapi juga bikin konten. Akun @imahbabaturan di Instagram selalu update dengan menu spesial, dan video-video YouTube seperti “Tukang Makan GTV” semakin mengangkat namanya. Tapi di balik hype itu, esensinya tetap sama: rasa rumah yang tak tergantikan.

Akhir Cerita, atau Justru Awal?

Beberapa bulan setelah kunjungan pertama, saya kembali ke Imah Babaturan. Masih sama: meja kayu, kerupuk gratis, dan Nasi Cumi Cabe Ijo yang membakar lidah. Tapi kini, ada lebih banyak senyum: pengunjung baru yang penasaran, dan pelanggan lama yang setia. Mungkin di sini, di antara remang lampu dan aroma rempah, kita tak cuma mencari makan, tapi juga secuil kehangatan yang sering kali hilang di kota besar.

Jika Anda ke Bandung, jangan lewatkan Imah Babaturan. Datanglah pagi agar dapat tempat, atau malam hari saat keramaian mereda. Pesanlah Oseng Sapi Asap, dan nikmati perlahan. Karena di sini, waktu seakan diperbolehkan berlalu lebih lambat, seperti di rumah sendiri.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *