Menyusuri Keindahan dan Kearifan Loksado

Jika ada satu kata yang menggambarkan Loksado, mungkin itu adalah “genap”. Genap antara debur sungai yang menggila dan senyap hutan yang menenangkan. Genap antara tradisi yang mengakar dan sentuhan modern yang pelan-pelan merambat. Genap antara usaha untuk mencapainya dan kepuasan yang didapat setelahnya. Di sudut Kalimantan Selatan ini, saya menemukan lebih dari sekadar destinasi, saya menemukan cerita.

Perjalanan dimulai dari Banjarmasin, ibu kota provinsi yang ramai. Empat jam berkendara menyusuri jalan berliku, melewati perkebunan karet dan desa-desa kecil, akhirnya membawa saya ke Loksado. Daerah ini seperti lukisan hidup: Pegunungan Meratus menjulang bak penjaga raksasa, sementara Sungai Amandit mengalir laksana urat nadi yang menghidupi segala sesuatu di sekitarnya. Di sini, alam bukan hanya pemandangan, tapi juga nafas.

Bamboo Rafting: Menari Bersama Arus

Tak ada yang lebih membekas selain sensasi bamboo rafting di Sungai Amandit. Rakit bambu tradisional (lanting) yang diikat dengan rotan itu terasa sederhana, tapi justru di situlah magisnya. Dengan didampingi joki lokal yang mahir mengayunkan galah bambu, kami mengaruhi riam-riam kecil yang menyemburkan percikan sejuk. Ada momen ketika arus tenang membiarkan saya menikmati gemericik air dan kicau burung, lalu tiba-tiba adrenalin melonjak saat rakit meluncur deras melewati batu-batu besar. “Ini dulu dipakai buat ngangkut hasil kebun,” kata seorang pemandu, mengingatkan bahwa aktivitas ini bukan sekadar hiburan, melainkan warisan budaya yang masih hidup.

Dua pilihan rute, 5 km atau 15 km, memberi kebebasan untuk memilih petualangan. Saya mengambil yang pendek, berakhir di Desa Tanuhi, tempat air terjun Haratai menjulang setinggi 20 meter. Suara gemuruhnya seperti orkestra alam yang memukau.

Dayak Meratus: Di Mana Tradisi Berbisik

Kunjungan ke Loksado tak lengkap tanpa menyelami kehidupan Dayak Meratus. Desa mereka, dengan balai (rumah adat) yang megah, menjadi saksi betapa eratnya hubungan manusia dan alam. Saya diajak melihat proses ladang berpindah, sistem pertanian berkelanjutan yang telah diwariskan turun-temurun. “Kami hanya mengambil secukupnya dari hutan,” ujar seorang tetua adat, matanya berbinar penuh keyakinan.

Di sini, tradisi dan perubahan berjalan beriringan. Generasi muda masih menghormati ritual Aruh Ganal yang sakral, tapi mereka juga mulai meninggalkan kebiasaan mengunyah pinang demi senyum putih bersih. Saya belajar menganyam keranjang dari daun pandan, mencicipi juhu singkah (sayur hutan), dan tertawa bersama anak-anak yang penasaran dengan kamera saya. Keramahan mereka bukan sekadar basa-basi, namun juga sebuah undangan untuk memahami cara hidup yang harmonis dengan alam.

Air Terjun dan Bukit: Mahakarya Alam

Loksado punya segudang air terjun, masing-masing dengan karakter unik. Selain Haratai, ada Kilat Api yang alirannya lebih tenang, cocok untuk berendam sembari menikmati sinar matahari yang menembus kanopi hutan. Bukit Langara menjadi favorit saya. Pendakian singkat ke puncaknya membuahkan pemandangan spektakuler: hamparan hijau Pegunungan Meratus yang berlapis kabut, dihiasi lengkungan Sungai Amandit seperti pita perak.

Tak ketinggalan, sumber air panas Tanuhi menjadi tempat ideal untuk merilekskan badan setelah sehari menjelajah. Air hangat alaminya mengusir lelah, sementara gemericik sungai kecil di dekatnya menjadi pengiring yang sempurna.

Lebih dari Sekadar Rakit Bambu

Selain rafting, Loksado menawarkan trekking ke desa-desa terpencil, tubing di sungai, atau sekadar duduk di beranda homestay sambil menyeruput kopi lokal. Saya memilih menginap di Meratus Resort Laksado, yang letaknya persis di tepi sungai. Tapi bagi yang ingin pengalaman lebih autentik, homestay di desa Dayak menyuguhkan interaksi langsung dengan warga.

Perjalanan ke Loksado memang butuh persiapan. Transportasi umum terbatas, jadi menyewa mobil dengan supir dari Banjarmasin adalah pilihan bijak. Yang terpenting, jaga etika: hormati adat, jangan meninggalkan sampah, dan ikuti arahan pemandu lokal.

Penutup: Loksado yang Mengikat Hati

Pulang dari Loksado, saya membawa lebih dari foto-foto. Saya membawa cerita tentang sungai yang mengajarkan keteguhan, hutan yang mengingatkan pada kerendahan hati, dan manusia yang membuktikan bahwa modernisasi tak harus mengikis identitas. Di sini, setiap jejak langkah adalah dialog antara masa lalu dan masa kini. Loksado bukan sekadar destinasi, ia adalah guru yang diam-diam mengajarkan arti keselarasan.

Dan seperti kata seorang teman Dayak, “Jangan hanya datang sekali. Loksado selalu punya cerita baru untuk diceritakan.” Saya yakin, suatu hari nanti, saya akan kembali, untuk mendengar lagi bisik-bisiknya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *