Menyusuri Lembah Basah dan Jantung Megah Tumpak Sewu

Saat pertama kali mendengar nama “Tumpak Sewu”, bayangan ribuan aliran air terjun langsung memenuhi kepala. Sosoknya yang dijuluki “Niagara Jawa” itu seperti magnet bagi jiwa petualang saya. Namun, tak ada yang bisa mempersiapkan saya untuk pengalaman sesungguhnya, sebuah perjalanan yang tak hanya menguji fisik, tapi juga menyentuh jiwa.

Dari Malang, saya memilih rute via Lumajang. Nasihat dari seorang teman lokal bergema: “Jangan lewat Malang, jalannya terlalu ekstrem. Lewat Lumajang lebih aman, meski tetap berliku”. Benar saja, jalan beraspal yang berkelok di antara perbukitan hijau dan kebun kopi seolah menjadi prelud alamiah sebelum pertemuan dengan sang raksasa air. Di Desa Sidomulyo, gapura kayu sederhana bertuliskan “Selamat Datang di Air Terjun Tumpak Sewu” menyambut. Harga tiket masuknya terjangkau, Rp10.000, cukup untuk membeli secangkir kopi di kota.

Tapi di sini, yang dibeli bukan kopi, melainkan tiket untuk menyaksikan mahakarya alam.

Trekking: Antara Lelah dan Keterpesonaan

Jalur menuju dasar air terjun dimulai dengan tangga bambu yang licin. Sepatu trekking yang saya pakai nyaris tak berguna di permukaan basah berlumut.Â

“Hati-hati, jalannya seperti digosok minyak!” seru seorang pemandu lokal sambil tertawa. Tangannya memegang erat tali tambang yang dipasang di tebing, satu-satunya penjaga nyawa di jalur curam itu.

Setiap langkah diiringi gemericik Sungai Glidih di bawah kaki. Udara lembap menusuk kulit, dan suara gemuruh air semakin keras. Tiba-tiba, dari balik tebing, secercah pelangi muncul, kilauan cahaya yang menari-nari di antara tirai air. Saya terpana. Ini dia, pikir saya. Tumpak Sewu.

Pertemuan dengan Sang Raksasa Lembut

Dari kejauhan, air terjun setinggi 120 meter itu terlihat seperti tirai raksasa yang dirajut oleh ribuan benang perak. Tapi saat mendekat, kekuatannya tak terbantahkan. Percikan air menerpa wajah, dingin tapi menyegarkan. Suara gemuruhnya seperti orkestra alam, menggema di lembah, menggetarkan tulang rusuk.

Saya duduk di batu besar, membiarkan kabut air membasahi tubuh. Di sini, waktu terasa melambat. Seekor kupu-kupu biru hinggap di bahu, seolah mengingatkan: “Lihatlah, ini bukan sekadar air terjun. Ini adalah katedral alam.”

Seorang penjaga warung kecil bercerita tentang legenda Roro Anteng dan Joko Seger, pasangan yang konon mencari perlindungan di sini. Mitos itu menambah aura mistis, tapi bagi saya, keajaiban Tumpak Sewu lebih nyata: bagaimana aliran Sungai Glidih yang berasal dari Semeru mengukir ngarai selama ribuan tahun, menciptakan mahakarya yang tak tertandingi.

Di sudut lain, Goa Tetes menawarkan petualangan tambahan. Tetesan air dari stalaktit di atap goa diyakini membawa awet muda, mitos yang membuat beberapa pengunjung mengangkat tangan, menadah tetesan itu seperti menerima berkat.

Perjalanan ini bukan tanpa risiko. Seorang turis asing pernah tewas terjatuh di sini, mengingatkan betapa alam bisa jadi sahabat sekaligus guru yang kejam. Tapi justru di situlah pesonanya: Tumpak Sewu tak mau diremehkan. Ia meminta pengunjungnya untuk sadar, sadar akan keterbatasan diri, sekaligus hormat pada kekuatan alam.

Saya pulang dengan kaki pegal dan baju basah. Tapi di kamera saya ada sesuatu yang lebih berharga: foto-foto yang takkan pernah adil menggambarkan keagungan Tumpak Sewu, dan kenangan akan gemuruh air yang terus bergema di kepala, suara alam yang mengajarkan kerendahan hati.

Epilog: Untuk Para Penjelajah Mendatang

Jika Anda berniat ke Tumpak Sewu, datanglah di musim kemarau (Mei-September) saat air tak terlalu deras. Bawa sepatu anti licin, air minum, dan keberanian untuk menaklukkan tangga bambu. Tapi yang terpenting: bawa hati yang siap terpesona.

Karena di balik semua lelah, Tumpak Sewu akan membisikkan rahasia: bahwa keindahan sejati selalu meminta pengorbanan, dan itu sepadan.

“Kami hanya penjaga sementara. Alamlah pemilik sebenarnya.” Kalimat terakhir dari penjaga loket, mengingatkan saya untuk tak pernah lupa: lestarikan, atau jangan kunjungi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *