Sebelum matahari terbit, aku sudah duduk di tepi Danau Situ Gunung, menatap kabut yang menggantung rendah di antara puncak-puncak Gunung Gede Pangrango. Udara dingin menusuk jaket tipisku, tapi justru inilah momen yang kutunggu: kesunyian alam yang memeluk erat, jauh sebelum keramaian wisatawan datang. Situ Gunung, yang dulu kukira hanya tentang jembatan gantung instagramable, ternyata menyimpan cerita lebih dalam: sebuah permata sejarah yang bertransformasi tanpa kehilangan jiwanya.
Jakarta-Situ Gunung: Sebuah Perjalanan yang (Tak Selamanya) Linear
Aku memilih naik kereta dari Bogor ke Stasiun Cisaat pagi itu. Keputusan yang kelak kubenci sekaligus kusyukuri. Kereta berderak pelan, melewati hamparan sawah dan perkebunan teh yang seperti lukisan cat air. Tapi setelah turun di Cisaat, drama dimulai. “Angkot ke Situ Gunung, Bang? Berapa?” tanyaku pada sopir yang sedang menyeruput kopi. “35 ribu, Neng. Jalan lagi sepi…” Jawabnya santai. Aku mengerutkan kening, padahal di grup traveler online katanya cuma 10 ribu. Setengah jam tawar-menawar ala turis gagal blend-in, akhirnya kubiarkan ojek yang menyelamatkan dengan tarif 25 ribu.
Jika suatu hari kau ke sini, pilih mobil pribadi. Percayalah. Jalan berkelok setelah Kadudampit itu indah, tapi angkot Sukabumi punya logika rute sendiri yang bahkan Google Maps tak mampu menjabarkannya. Namun, justru di tengah kebingungan itulah kuraih cerita: obrolan dengan Ibu penjual pepaya di pinggir jalan yang bercerita tentang masa kecilnya mandi di Curug Sawer, atau Pak Ogah yang dengan bangga menunjukkan foto Jembatan Lembah Purba di HP jadulnya.
Jembatan Gantung & Lembah Purba: Di Mana Adrenalin Bertemu Nostalgia
“Ini jembatan terpanjang se-Asia Tenggara, lho!” seru seorang remaja sambil berlari-lari kecil di Suspension Bridge. Aku menggenggam erat pagar kawat, kaki gemetar menyusuri jembatan sepanjang 243 meter itu. Di bawah, lembah hijau dalam menganga. Tapi di balik sensasi adrenalin itu, ada sesuatu yang mengusikku: jejak besi berkarat di struktur jembatan, plang nama yang sudah buram, dan patung-patung kayu berbentuk manusia purba di pinggir jalur. Seperti ada upaya memadukan modernitas dengan narasi zaman dulu, tapi agak dipaksakan.
Justru di Lembah Purba, 3 kilometer dari danau, segalanya terasa lebih autentik. Trekking di sini bukan sekadar jalan santai. Bayangkan: 9 jembatan gantung dalam satu rute, dari yang lebar dua meter sampai yang cuma selebar sandal jepit. Jembatan terakhir (yang 535 meter itu) membuatku nyaris menangis. Kaki menapaki papan kayu yang berderit, tangan mencengkeram tali yang sudah berbulu oleh lumut, sementara angin menerpa wajah dengan dinginnya. Tapi saat sampai di ujung, Curug Kembar Lembah Purba muncul seperti hadiah: dua air terjun sejajar yang jatuh dari ketinggian 50 meter, membentuk pelangi mini di cipratannya.
“Dulu tahun 90-an, buat ke sini harus numpang perahu karet nelayan,” kata Mas Heru, pemandu lokal yang kusewa. “Sekarang ada jembatan, Tapi alamnya tetap sama. Lihat pohon rasamala itu? Akarnya seperti kaki raksasa. Sudah ratusan tahun umurnya.”
Air Terjun, Keranjang Rotan, & Malam di Tengah Hutan
Curug Sawer adalah tempatku bertobat dari panasnya Jakarta. Airnya deras, tapi ada kolam alami di dasarnya yang cukup untuk berendam. Di sini, kulihat seorang bapak paruh baya mengajak anaknya memanjat tebing kecil. “Dulu Bapak sering ke sini sama kakekmu,” bisiknya. Sejarah ternyata bukan cuma tentang tahun dan angka, tapi juga tentang kenangan yang diwariskan.
Keranjang Sultan, wahana flying fox berbentuk keranjang rotan, awalnya kukira hanya gimmick. Tapi saat meluncur di ketinggian 15 meter di atas sungai Ciberang, perutku meringkuk. Bukan karena takut, tapi karena pemandangannya: hutan di kiri-kanan seperti terowongan hijau, dengan suara jangkrik dan burung perkutet sebagai soundtrack.
Malam itu, kubangun tenda di Tanakita Camping Ground. Di luar tenda, saat duduk di dekat api unggun, kudengar cerita-cerita magis dari pengunjung lain. “Katanya, Mbah Jalun suka menampakkan diri kalau ada yang buang sampah sembarangan,” kata seorang ibu sambil tertawa. Legenda lokal itu, entah benar atau tidak, menjadi pengingat halus untuk menghormati alam.
Tapak Kolonial & Jejak Mataram di Balik Rimbunnya Pohon
Esok pagi, kujelajahi reruntuhan bangunan Belanda di tepi danau. Pondasi batu merah yang ditutupi lumut, bekas dermaga kayu yang sudah keropos. Tahun 1888, Belanda membangun resor di sini. Bayangkan: para noni Belanda bersantai di perahu sambil minum teh, dikelilingi hutan yang saat itu masih perawan. Di museum mini dekat pintu masuk, kulihat foto hitam-putih tahun 1934: wanita berkebaya sedang berdiri di jembatan kayu, cikal bakal jembatan gantung masa kini.
Tapi sejarah Situ Gunung lebih tua dari itu. Konon, danau ini diciptakan oleh Mbah Jalun, tokoh sakti dari Mataram, sebagai tempat pertapaan. Aku tak menemukan prasasti atau bukti fisik, tapi ada energi berbeda di sekitar Danau Situ Gunung. Airnya tenang, berwarna hijau tua, dikelilingi pohon-pohon pinus yang menjulang. Seperti tempat yang menyimpan seribu kisah yang hanya bisa didengar dalam hening.
Titik Balik: Trekking yang Mengajarkan Arti ‘Lambat’
Hari terakhir, aku memaksakan diri trekking ke Lembah Purba sendirian. Sebuah keputusan bodoh yang akhirnya menjadi hikmah. Tanjakan curam di awal membuat napas tersengal, tapi justru di situ kusadari: tak perlu terburu-buru. Kupelajari dedaunan pakis yang masih menggulung, jejak kaki babi hutan di lumpur, sarang laba-laba emas yang berkilauan. Di sebuah tikungan, kudapati air terjun kecil yang tak bernama. Airnya jernih, mengalir di antara batu-batu berlumut. Aku duduk di sana, kaki terendam, sambil berpikir: kadang destinasi “tersembunyi” justru ada di jalur yang paling dilewati.
Epilog: Situ Gunung dalam Diam
Saat turun hujan di hari terakhir, kudengar gemericik air di atap tenda. Kabut tebal menyelimuti danau, menghapus batas antara air dan langit. Di kejauhan, bunyi angin mendesir di antara kabel jembatan gantung seperti suara gamelan yang dipetik pelan.
Situ Gunung bukan sekadar tempat wisata. Ia adalah ruang di mana waktu berjalan dalam dua arah: ke depan dengan jembatan-jembatan megahnya, dan ke belakang, merawat memori hutan purba, jejak kolonial, serta legenda yang hidup dalam bisikan angin. Aku pulang dengan sepatu berlumpur, kulit menghitam oleh matahari, dan satu pelajaran: kadang, untuk benar-benar melihat suatu tempat, kita harus berani melepaskan ekspektasi, bahkan tentang petualangan itu sendiri.
Dan di carrier, ku bawa pulang secarik kertas dari buku tamu pengunjung tahun 1998 yang kutemukan di pos ronda: “Di sini, waktu berhenti. Kami janji akan kembali.”